Meraih Sebagai Bangsa Pemenang
Prof. Dr. H. Imam Suprayogo Kamis, 18 September 2014 . in Dosen . 642 views

Disadari atau tidak, dalam kehidupan ini selalu terjadi kompetisi. Kompetisi itu bisa dilakukan antar pribadi, saudara, tetangga, kelompok, golongan, dan bahkan antar negara. Semua orang atau semua pihak pasti menginginkan agar memperoleh keunggulan, kemenangan atau mendominasi. Kemenangan selalu menyenangkan dan membanggakan. Oleh karena itu dengan cara apapun pasti diperjuangkan.

Rumus untuk mendapatkan kemenangan sebenarnya gampang sekali. Mereka yang kuat, maka itulah yang menang, dan begitu pula sebaliknya. Mereka yang lemah akan kalah dan didominasi oleh yang kuat. Kekuatan yang dimaksudkan itu bisa bermacam-macam, misalnya aspek kepintarannya, modalnya, fisiknya, keluasan komunikasinya, dan lain sebagainya.

Menyandang kekuatan dan bahkan kelebihan juga diperintahkan di dalam al Qur'an. Dii dalam kitab suci disebutkan : kunuu ulinnuha, kunuu ulil abshar, kunuu ulil albaab. Adalah sangat jelas sekali, bahwa manusia dianjurkan agar memiliki otak yang cerdas, pandangan mata dan telinga yang tajam, dan juga agar memiliki hati yang lembut. Penyandang otak yang cerdas, kemampuan melihat dan mendengar, dan pemilik hati yang lebut adalah tergolong orang kuat.

Untuk menjadikan orang cerdas dan seterusnya itu, maka tidak ada jalan lain kecuali lewat pendidikan. Dan sebenarnya, sudah sekian lama, pendidikan di Indonesia ditingkatkan baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Secara kuantitatif, pelayanan dipeluas agar pendidikan menjadi merata, mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Demikian pula dari aspek kualitasnya, diusahakan dari waktu ke waktu.

Persoalannya adalah, apakah kebijakan pemerataan dan peningkatan kualitas yang ditempuh selama ini sudah tepat. Menjawabnya juga tidak mudah. Selama ini, pemerintah berhasil meningkatkan jumlah anggaran untuk pendidikan, memperbaiki kualitas guru, kurikulum, pelaksanaan ujian nasional, dan lain-lain. Namun sebenarnya, usaha itu masih harus diikuti oleh keinginan dan mental maju bagi para pelakunya. Apapun yang dilakukan, termasuk anggaran dan lain-lain dipenuhi, namun jika tidak ada niat dan mental maju, maka berbagai usaha itu akan sia-sia.

Tanpa ada niat dan perubahan mental menjadi maju, dana yang disediakan oleh pemerintah akan dibelanjakan secara asal-asalan. Bisa jadi anggaran itu tidak dihemat atau dibelanjakan secara efisien, melainkan bahwa yang terpenting adalah terserap habis dan bisa dibuat laporan pertanggung jawabannya. Manakala mental seperti itu yang berkembang, maka kebijakan apapun tidak akan membawa hasil. Akhirnya, pendidikan hanya akan berupa proyek-proyek kegiatan tanpa diikuti oleh semangat maju, jiwa atau ruh. Seolah-olah ada kegiatan tetapi keberadaannya sama dengan tidak adanya.

Gambaran yang menyedihkan itulah mungkin, yang dimaskud oleh presiden terpilih, Joko Widodo dan Yusuf Kalla, dengan istilah harus segera ada revolusi mental. Kebijakan pendidikan sudah dibuat, program-programnya juga sudah disusun, dan bahkan sudah diimplemenatasikan. Namun sebenarnya, selain semua itu masih harus ada sesuatu lagi yang terpenting adalah mental, jiwa, dan keinginan untuk maju itu. Kegiatan apa saja, apalagi implementasi program pemerintah, tidak boleh hanya dijalankan sebatas formalitas selesai, dan bisa dilaporkan, tetapi lebih dari itu adalah, benarkah kegiatan itu telah meraih apa yang diinginkan.

Selama ini tidak sedikit terdengar ada kegiatan yang hanya dilakukan secara formal atau seolah-olah telah selesai. Misalnya, bahwa para guru sudah sekian prosen yang ditatar, disertifikasi, ditingkatkan latar belakang pendidikannya hingga disebutkan sekian prosen telah bergelar sarjana. Bahkan juga pangkat dan gaji mereka sudah dinaikkan. Padahal, semua itu tidak ada artinya bila mental mereka tetap sebagaimana semula. Misalnya, mereka hanya bekerja apa adanya, bahwa yang terpenting adalah memenuhi jumlah jam yang diwajibkan, dan sejenisnya.

Apabila yang digambarkan tersebut belum bisa diperbaiki, maka ke depan bangsa ini masih akan tetap kalah bersaing dengan bangsa-bangsa lain. Kemenangan dalam persaingan tidak cukup hanya bermodalkan kekuatan formalitas, simbol-simbol, atau lambang-lambang. Kemenangan menuntut atau hanya akan dicapai atas dasar kekuatan nyata, kongkrit, atau bukan serba kamuplase. Maka, pada saat ini dan ke depan, yang diperlukan oleh bangsa ini adalah kejujuran, kesungguhan, dan keharusan meninggalkan apa saja yang bersifat formalitas, seolah-olah, dan kamuflase itu. Jika hal itu berhasil dilaksanakan, maka kemenangan itu,------- sekalipun terlambat, akan bisa diraih. Wallahu a'lam.

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up