Polri Versus KPK: Tampaknya Kita Masih akan Lama sebagai Bangsa Terkorup
Prof. Dr. H. Mudjia Rahardjo, M. Si Senin, 26 Januari 2015 . in Rektor . 1890 views

Jum’at, 23 Januari 2015, sekitar pukul 09. 00 WIB  saya sedang berada di ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta, sedang transit untuk melanjutkan penerbangan ke Medan menghadiri pertemuan Forum Rekror Indonesia, di Universitas Sumatra Utara (USU) Medan. Saat duduk sambil menunggu pengumuman dari petugas tentang jam pemberangkatan, tiba-tiba saya mendengar berita dari salah satu stasiun TV swasta yang tidak jauh dari tempat duduk saya bahwa Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Bambang Widjojanto ditangkap Polisi. Mendengar berita tersebut, saya antara percaya dan tidak, masa Wakil Ketua KPK ditangkap Polisi. Karena penasaran, saya mendekat ke pesawat TV yang melakukan siaran tersebut dan ternyata benar bahwa Bambang Widjojanto ditangkap dan sedang diinterograsi di Mabes Polri Jakarta. Tak bisa dipungkiri, jagad politik Indonesia pun gaduh. Betapa tidak, yang ditangkap adalah Wakil Ketua KPK, yang nota bene adalah pejabat negara.

 

Beberapa penumpang yang lain juga mengikuti saya untuk mendengarkan siaran tersebut dengan lebih mendekat ke pesawat TV. Setelah memastikan bahwa Bambang ditangkap KPK, beberapa kalimat pun muncul dari mereka secara spontan, di antara yang saya dengar adalah “Kasus cicak dan buaya jilid 2 dimulai lagi”, “KPK sedang digempur”, “Ini imbas dari penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka kasus rekening gendut”, “Apa maunya para penegak hukum kita ini?”, dan “Polisi sedang murka karena salah satu kawannya dijadikan tersangka oleh KPK”, dan masih banyak yang lain.

Beberapa saat kemudian ada pengumuman bahwa para penumpang pesawat Garuda menuju Medan dipersilakan masuk pesawat, karena pesawat sudah siap. Secara teratur, satu per satu calon penumpang antri masuk pesawat. Di dalam pesawat saya mendengar beberapa orang masih melanjutkan pembicaraan tentang peristiwa yang baru mereka saksikan  di televisi. Saya pun tak ketinggalan membicarakan masalah tersebut. Dengan penumpang yang duduk di sebelah saya, obrolan saya mulai hingga penerbangan menuju Medan hampir berakhir. Inti dari obrolan tersebut ialah betapa sulitnya praktik pemberantasan korupsi di Indonesia, karena alih-alih saling bersinergis untuk memberantas korupsi, yang terjadi justru sebaliknya, antara dua lembaga penegak hukum, yaitu Polri dan KPK, terus berantem. Penangkapan Bambang Widjojanto oleh Polri menjadikan hubungan antara dua lembaga penegak hukum itu masuk fase terburuk selama ini.

Kendati Plt. Kapolri Komjen Badrodin Haiti di berbagai media menyatakan secara institusional antara Polri dan KPK tidak ada masalah, publik sama sekali tidak percaya. Sebab, sudah beberapa kali perseteruan di antara keduanya terjadi, dan publik dengan gamblang mengetahuinya. Masyarakat sudah tidak bisa dibodohi lagi oleh ucapan seorang pejabat  setingkat Wakapolri. Mengapa kok masih menutup-nutupi adanya perseteruan di antara keduanya? Saya kira dengan berterus terang bahwa memang ada masalah di antara keduanya sejak lama justru semakin mudah dicari solusinya dengan mengurai akar masalahnya.

Jika dikilas balik, sejak era Antasari Azhar memimpin KPK hingga kini Abraham Samad, upaya sistematis menggerogoti kekuasaan KPK tidak pernah berhenti. KPK yang “super body” rupanya tidak disukai baik oleh Polri maupun lembaga legislatif. Bahkan beberapa anggota Dewan Perwakilan Rakyat RI mencoba mengurangi kekuasaan KPK dengan melakukan usulan perubahan undang-undang tentang kekuasaan KPK. Malah, jika tidak salah, salah seorang anggota DPR, Fahri Hamzah di sebuah acara konsultasi DPR dengan lembaga penegak hukum pernah mengusulkan agar KPK dibubarkan saja, karena menurutnya di sebuah negara demokrasi tidak boleh ada satu lembaga yang memiliki kekuasaan begitu kuat (super body). Tentu itu ide mundur, sebab korupsi di negeri ini sudah sampai tingkat akut.  Ibarat penyakit, karena sudah  terlalu akut, pemberantasan korupsi di Indonesia sungguh luar biasa sulitnya.

KPK yang lahir berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 yang diharapan menjadi salah satu pilar terdepan pemberantasan korupsi di Indonesia sebenarnya memiliki tugas yang sangat mulia. Sebab, praktik korupsi di Indonesia sudah sangat mengganggu sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Semua lembaga survei tentang korupsi selalu menempatkan Indonesia pada urutan salah satu negara terkorup di dunia. Banyak ahli mengatakan bahwa salah satu penyebab masih tingginya angka kemiskinan di Indonesia karena korupsi masih merajalela. Karena itu, kendati Indonesia memiliki kekayaan alam yang melimpah jumlah penduduk miskinnya masih banyak. Tidak ada ceritanya bahwa negara yang korup itu rakyatnya sejahtera.  Karena itu, korupsi dikategorikan sebagai salah kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), karena dampaknya luar biasa.

Menurut Bank Dunia, angka kemiskinan di Indonesia hingga akhir 2014 masih 11, 3%. Angka ini memang berkurang jauh dari kemiskinan di tahun 1999 yang mencapai 24%. Kendati sudah menurun, terdapat sekitar 68 juta penduduk yang rentan jatuh miskin. Artinya, pendapatan mereka hanya terpaut lebih sedikit dari penduduk miskin. Menurut Bank Dunia, kondisi tersebut sangat potensial menyebabkan timbulnya gejolak sosial.

Sayang, ternyata dalam perjalanannya lembaga yang bertugas khusus memberantas korupsi itu tidak semulus harapan semula. Terlalu banyak pihak yang berkepentingan untuk melemahkan posisinya, terutama para koruptor dan pihak-pihak yang punya akses keuntungan dengan para pengemplang uang negara tersebut. Penangkapan dan penetapan Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto, sebagai tersangka yang diduga memberikan keterangan palsu ketika menjadi penasehat hukum sengketa pilkada di Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah,  sulit untuk tidak dikaitkan dengan upaya pelemahan lembaga KPK. Sebab, dengan menjadi tersangka, Bambang harus mundur dari pimpinan KPK, sehingga jumlah pimpinan KPK berkurang. Sebagaimana diketahui KPK dipimpin oleh 5 orang, satu orang menjadi ketua, yang saat ini dijabat oleh Abraham Samad, dan 4 orang wakil ketua merangkap sebagai anggota. Jika Bambang Widjojanto mundur, maka pimpinan KPK tinggal 4 orang. Memang secara hukum dengan 4 pimpinan, KPK masih efektif, dalam artian bahwa semua keputusannya tetap sah. Tetapi jelas kekuatan KPK semakin berkurang, dan Bambang Widjojanto dikenal sebagai salah satu pimpinan KPK yang sangat vokal dan pemberani dalam menjalankan tugasnya.

Jika perseteruan antara KPK dan Polri tidak segera dilerai, maka agenda pemerintahan Jokowi dalam pemberantasan korupsi dipastikan terhambat. Dan, itu sangat merugikan Jokowi.  Bagaimana tidak? Energi yang mestinya dipakai untuk mengusut kasus-kasus korupsi terpaksa dipakai untuk jor-joran adu kekuatan dan rebutan kekuasaan siapa yang paling berhak mengatasi persoalan korupsi di negeri ini. Polri sebagai lembaga yang sudah ada jauh sebelum KPK terbentuk tentu merasa paling berhak menangani korupsi. Sementara KPK yang lahir di era reformasi juga merasa paling berhak karena undang-undang memang mengaturnya.

Lepas siapa yang benar, perseteruan di antara keduanya sangat merugikan rakyat secara keseluruhan dan menguntungkan para koruptor. Semakin lama perseteruan, semakin lama para koruptor bertepuk tangan. Sebaliknya, keduanya tidak akan  memperoleh apa-apa selain hujatan dari rakyat. Andai saja masing-masing mau lebih mengedepankan tugasnya sebagai lembaga penegak hukum yang berjiwa kenegarawanan dan tidak menonjolkan ego masing-masing, perseteruan itu tidak akan terjadi. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya, yakni sikap ego sektoralnya yang menonjol. Jika ini terus terjadi, impian kita sebagai  bangsa dari sebuah negara kaya yang bersih dari praktik korupsi masih sangat jauh.

Tampaknya, kita masih akan lama menyaksikan drama perseteruan itu. Sebab, belum ada tanda-tanda keduanya rujuk. Malah, masing-masing saling ngotot menunjukkan kekuatannya. Sebagai kepala negara, Presiden juga belum melakukan langkah yang jelas untuk melerai keduanya. Pernyataannya beberapa waktu lalu hanya berupa seruan moral agar masing-masing fokus pada tujuannya dan tidak saling menyerang. Tapi sangat bisa dimengerti betapa sulit posisi presiden yang dilematis.  Menyaksikan apa yang terjadi di dua lembaga penegak hukum itu, saya berkesimpulan bahwa tampaknya kita masih akan lama pula beridentitas sebagai salah bangsa terkorup di dunia. Sebab, perseteruan itu akan menguras tenaga tidak untuk melaksanakan tugas masing-masing, tetapi untuk saling menyerang dan menjatuhkan.  Astaghfirullah !

____________

Medan, 25 Januari 2015

(Author)


Berita Terkait


UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
Jalan Gajayana No. 50 Malang 65144
Telp: +62-341 551-354 | Email : info@uin-malang.ac.id

facebook twitter instagram youtube
keyboard_arrow_up